PCIM Muhammadiyah Mesir - Persyarikatan Muhammadiyah

 PCIM Muhammadiyah Mesir
.: Home > Berita > Belajar Ilmu Hadis (1) Pendahuluan

Homepage

Belajar Ilmu Hadis (1) Pendahuluan

Senin, 05-06-2017
Dibaca: 1141

Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H) mendefinisikan ilmu hadis sebagai, “Ilmu tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan hadis dan perawinya” (al-Nukat `alâ Kitâb Ibn al-Shalâh 1/225). 
 
Ilmu hadis yang berperan meyeleksi nash hadis mana yang bisa dinisbatkan kepada penuturnya adalah ilmu alat yang murni lahir dari rahim peradaban Islam, bersama dengan usul fikih yang berperan sebagai alat untuk menemukan makna di balik nash tersebut.
 
Ketika dakwah Islam menyebar ke berbagai penjuru, maka menjadi sebuah keniscayaan tersebarnya hadis yang merupakan salah satu sumber syariat Islam. Hadis akan menyebar dan diajarkan melalui lisan ke lisan, dari satu generasi ke generasi.
 
Lewat masa sahabat Nabi, ulama salaf (terdahulu) memahami betul realita zamannya yang semakin dinamis. Kapasitas akal dan potensi memori perawi hadis yang berbeda, kecenderungan seseorang terhadap bid`ah (hal baru menyimpang) yang mulai muncul akibat konflik politik (seperti syiah) maupun murni perdebatan persoalan agama (seperti muktazilah), serta keadaan periwayatan hadis yang bermacam-macam akan sangat berpengaruh terhadap validitas hadis.
 
Oleh karenanya para kritikus hadis muncul merumuskan kriteria yang dapat digunakan untuk menyaring siapa saja yang berhak diterima periwayatannya dan hadis mana yang dinilai layak untuk dinisbatkan kepada penuturnya.
 
“Dulu”, Ibnu Sirin (110 H) menjelaskan, “Orang-orang tidak bertanya tentang sanad. Setelah zaman fitnah, dituntut identifikasi orang yang meriwayatkan hadis. Riwayat ahli hadis akan diterima, sementara riwayat ahli bid`ah akan ditinggalkan” (Shahîh Muslim 1/9).
 
Ibnu Mubarak (181 H) mengatakan, “Sanad adalah bagian dari agama, tanpa sanad siapapun akan bicara sesukanya”. Sejalan dengan statemen Ibnu Sirin, “Sesungguhnya ilmu ini merupakan bagian dari agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agamamu”. Kedua perkataan ini diabadikan bersanad oleh Imam Muslim (261 H) dalam mukadimah Kitab Shahih-nya (1/9).
 
Akhirnya, ilmu hadis menjadi saksi atas kerja akal para ulama muslim yang selalu produktif lagi dinamis. Ilmu ini menjadi penyokong sanad yang menjadi kebanggaan peradaban Islam. Suatu peradaban agung yang salah satu sumber inspirasinya adalah teks/nash.
 
Sebelum ditafsiri dan ditransformasikan menjadi gagasan-gagasan yang akan menjawab berbagai problematika zaman, sebuah nash perlu diuji validitasnya. Apakah ia layak dinisbatkan kepada utusan Allah, Nabi Muhammad ShallalLâhu `alaihi wa Sallama? Kurang layak? Atau malah dipalsukan atas nama Beliau? Pertanyaan inilah yang akan terjawab dengan penguasaan ilmu hadis.  
 
Belajar ilmu hadis, kita akan menghayati betul bagaimana otentisitas ajaran Islam ini dipertahankan. Belajar ilmu hadis, kita akan memahami betul makna kedalaman ilmu dan ulama. Belajar ilmu hadis, kita akan menyimak potret kehidupan orang-orang saleh nan berilmu yang menghiasi peradaban. Belajar ilmu hadis, kita akan terhibur dengan cerita-cerita nyata macam: “Mengapa Humaid bin Abu Humaid asal Basrah itu digelari dengan ‘Si Tinggi’ (al-Thawîl)”? dan terkagum dengan keluhuran budi masyarakat saat itu.
 
Al-Ramahurmuzi (360 H) melalui al-Muhaddits al-Fâshil dikenal sebagai orang pertama yang menulis kitab yang secara khusus bicara soal ilmu hadis. Meskipun demikian, kaidah-kaidah seleksi riwayat sebenarnya sudah dapat ditemukan dalam al-Risâlah-nya Imam al-Syafi`I (204 H) dan Mukadimah Shahih Muslim.
 
Selanjutnya, ada Abu Abdullah al-Hakim (405 H) dengan Ma`rifat Ulûmi’l Hadîts. Ada pula al-Khathib al-Baghdadi (463 H) ulama yang dikenal membukukan berbagai persoalan-persoalan seleksi riwayat, masing-masing dalam bentuk buku tersendiri. Di antaranya melalui al-Kifâyah fî Ma`rifati Ushûli al-Riwâyah. Dari negeri Maroko ada Qadhi `Iyadh (544 H) dengan al-Ilmâ` ilâ Ma`rifat Ushûli al-Riwâyah wa Taqyîd al-Samâ`.
 
Adalah Ibnu al-Shalah (643 H) yang memeras saripati buku-buku al-Khathib al-Baghdadi. Ia diktekan saripati kaidah seleksi riwayat tersebut kepada para mahasiswanya dan dibukukan menjadi  Muqaddimah Ibn al-Shalâh. Kitab inilah menjadi induk dari berbagai kitab ilmu hadis yang datang belakangan.
 
Al-Nawawi (676 H) dua kali meringkasnya dalam al-Irsyâd dan al-Taqrîb. Al-Iraqi (806 H) me-nazham-kannya dalam ‘1000 bait’ dan mengomentarinya dalam al-Nukat. Ibnu Hajar mengomentarinya dalam al-Nukat bersamaan dengan komentar terhadap al-Nukat gurunya, al-Iraqi. Dan sebagainya, sangat banyak untuk disebutkan.
 
Ahli tafsir terkenal, Ibnu Katsir (774 H), meringkas Muqaddimah Ibn al-Shalâh dan memberikan tambahan dari kepakaran ilmunya dalam bidang hadis. Ringkasan yang akhirnya dijadikan muqarrar Ma`had al-Azhar ini akhirnya diberikan penjelasan oleh Syekh Ahmad Muhammad Syakir (1377 H) dan diberi nama al-Bâ`its al-Hatsîts Syarh Ikhtishâr Ulûmi’l Hadîts. Ceritanya cukup panjang.
 
Kitab Ibnu Katsir beserta al-Bâ`its al-Hatsîts  inilah yang akan menemani rekan-rekan PCIM Mesir di setiap Jumat sore. Sampai jumpa Jumat sore!
 
NB:
1. Ditunggu ceritanya soal bolak-balik lembaran Muqaddimah Shahîh Muslim;
2. Kita akan membahas hadis sahih hari Jumat, 2 Juni 2017 pukul 16.30;
3. Diharapkan kesiapannya dalam bentuk: membaca materi kemarin dan yang akan datang;
4. Akan banyak pernak–pernik hadis dan ilmu hadis yang akan mengiringi perjalanan kita dalam menelaah Ikhtishâr `Ulûmi’l Hadîts. Maka baik sekali mengkhususkan sebuah buku catatan.
 
#RamadanBersamaPCIM 
 
 

Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website